Bojonegoro | Lensapewarta.com, Nenek saya di kampung sering sekali salah ucap, tapi beliau rajin bertanya kepada anak dan cucunya, manakala ada kesangsian terhadap apa yang dikatakannya. Misalnya untuk meminta dibuatkan sayur asem saja perlu dia rinci, apakah bahan yang dia sebutkan itu sudah memenuhi maksudnya untuk menikmati sayur asem.
Begitu juga ketika dia sangsi atas penyakit yang dideritanya itu adalah asam lambung atau asam urat. Sebab kalau sampai salah, obatnya pun bisa jadi salah, seperti asam sulfat yang sedang riuh digunjingkan kawula muda yang kecewa terhadap idola yang tengah mereka timang-timang.
Itu sebabnya sepupu saya di sebelah rumah dulu sangat rajin memperkenalkan bermacam jenis buah-buahan serta makanan yang asam. Mulai dari asam belimbing yang paling kecut sampai sayur asam yang kini menjadi makanan kegemaran kami sekeluarga. Sebab menurut sepupu saya itu, beragam makanan dan buah-buahan yang sudah dinikmati itu akan memberi pengalaman batin atau spiritual, minimal tentang cita rasa dati beragam makanan maupun buah-buahan itu, sambil menghayati kejayaan dari daya cipta Yang Maha Kuasa atas jagat raya dan seisinya.
Tentu saja, keragaman misteri dari beragam makhluk ciptaan Illahi Rabbi itu, bisa ikut memperluas daya nalar dan pengembaraan spiritual setiap manusia yang mau merenung sejenak, agar tidak terus berpikir tentang duniawi atau kekuasaan semata hanya untuk melampiaskan nafsu serakah.
Atas dasar itu pula pertimbangan Kakek saya dahulu tak hendak dicalonkan kembali menjadi lurah. Alasannya, cukup sederhana, taj ingin turun karena hujatan atau lantaran disebabkan telah membuat banyak kesalahan.
Yang lebih penting dari itu, kata Kakek saya, dia tak ingin meninggalkan beban sedikitpun bagi anak cucunya yang kelak ajan dikenang semua orang sepanjang sejarah hidup dari semua anak keturunannya.
Jadi soal asam garam hidup pun tak bisa di karbit atau masak yang dipaksakan seperti perlakuan orang lapar untuk segera melahap buah-buahan yang masih mengkal. Kalau pun tidak tampak dalam penampilannya, tapi rasa dan aromanya bisa diendus oleh semua orang. Kemampuan merasakan dan mengendus aromanya yang matang itu memang tidak cuma diperlukan kemampuan atau kecerdasan intelektual semata, tapi juga kemampuan dan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual itu tidak bisa dimanipulasi dengan ijazah palsu. Karena pengalaman dan pengetahuan hingga memperoleh kecerdasan spiritual itu hanya bisa dimiliki dengan laku senyap, tanpa perlu diketahui oleh seorang pun. Apalagi sampai harus pamer dan menenteng ijazah kemana-mana. Jadi mungkin sekali yang dimaksudkan Paulo Preire bahwa makna bebas dari sekolah itu, agar setiap orang tidak perlu dijebak oleh selembar ijazah. Apalagi yang palsu. (Gr*)
Bojonegoro, 5 Desember 2023