Oleh : Gok Ras
Bojonegoro | Lensapewarta.com, – Politik etis, dalam sejarah penjajahan Belanda di Nusantara sebelum menjadi Indonesia pernah dilakukan untuk melakukan semacam balas Budi atas rasa malu penjajah itu yang telah banyak melakukan pemerasan dan penindasan terhadap suku bangsa Nusantara.
Sedangkan etis politik, adalah tata cara berpolitik yang santun dan beradab yang tetap mengindahkan sopan santun serta tata kerama berpolitik yang elegan, karena masih tetap berpijak pada adat istiadat maupun tradisi berpolitik yang tidak urakan, misalnya mau menang sendiri tanpa memiliki argumen yang bisa diterima akal sehat orang lain.
Lalu Etis Ndasmu, merupakan kosa kata lama yang masuk dalam khazanah politik mutakhir di tanah air kita, ketika sedang bersiap masuk dalam acara pesta demokrasi yang jujur, adil dan bermartabat.
Bahasa ucap etis Ndasmu itu dalam tradisi dan budaya apapun, sesungguhnya tidak etis. Sebab terasa membetot rasa pirasa tata ucap yang tidak elegan, sehingga pantas dan patut membuat banyak orang terperangah.
Ucapan etis Ndasmu itu akan terkesan lain ketika diucapkan dalam obrolan dari hati ke hati seseorang terhadap sahabatnya yang lain dalam perkumpulan yang terbatas, karena sifatnya sangat pribadi. Maka itu jadi lain ceritanya ketika kata ucap etis ndasmu itu diungkapkan di hadapan publik yang sangat luas dan beragam latar belakang pengetahuan serta budaya asal dari sejumlah orang yang bersifat umum itu.
Yang pertama, boleh jadi kata ucap etis Ndasmu itu karena tidak memiliki kosa kata yang cukup, sehingga bisa diucapkan hanya etis Ndasmu itu. Bisa juga kata ucap etis Ndasmu itu menjadi pilihan sadar karena kepanikan untuk memberi argumen yang lebih bijak, sehingga perbendaharaan kata dan bahasa ucap yang minim itu menjadi pilihan terpaksa, karena hanya sebatas itu saja kekayaan dari bahasa yang dimiliki, sehingga dapat mencerminkan kepemilikan bahasa ucap yang miskin.
Agaknya, itulah sebabnya dahulu ketika belajar di Sekolah Rakyat ada pelajaran bahasa Indonesia yang kemudian dikukuhkan oleh ahli bahasa agar dapat diucapkan dengan baik dan benar. Sebab menurut telisikan para budayawan bahwa bahasa itu cukup mencerminkan pemahaman dan pendalaman terhadap budaya orang yang bersangkutan. Maka itu semakin halus dan cermatnya pilihan bahasa ucap seseorang akan mencerminkan klas dan derajat sosial orang yang bersangkutan.
Dalam bahasa Jawa dan umumnya bahasa suku bangsa yang ada di Nusantara ini memiliki kelas atau semacam level tingkatan untuk diucapkan secara tepat kepada mereka yang sedang menjadi kawan bicara. Karena itu, cara berbicara di depan publik dengan cara berbicara dalam obrolan santai sehari-hari pun tetap harus mengindahkan tata kerama yang pas dan tepat. Sebab dalam pembicaraan dengan Ndoro Dalem tidak bisa disamakan dengan cara berbicara dengan Kawulo Alit. Itulah sebabnya budaya keraton dan tradisi masyarakat adat tetap relevan untuk ditekuni dan dipelajari agar dapat mampu menjaga sopan santun, atau unggah-ungguh yang baik, bukan hanya atas anggapan diri kita sendiri, namun atas penilaian serta kesan yang diberikan oleh orang lain.
Jadi politik etis, dan etis politik itu jelas sangat berbeda seperti asam sulfat dan asam urat. Trias Van Deventer semacam istilah yang dikenal sebagai bentuk kebijakan politik etis dari Hindia Belanda yang bijak untuk bangsa pribumi dengan membuat irigasi (pengairan dan sistem pertanian) serta edukasi (pendidikan dengan memberi kesempatan sekolah) dan imigrasi untuk memeratakan wilayah penyebaran penduduk agar membludak hidup diperkirakan menjadi warga miskin.
Jadi politik etis dalam sejarah bahasa Indonesia kemudian tercatat sebagai politik balas budi. Jadi jelas bedanya dengan etis politik. Dan budaya politik dapat dicerminkan juga oleh kepemilikan bahasa yang minim — miskin karena mungkin terlalu asyik mempelajari strategi politik untuk terus menang, meskipun tanpa mengindahkan etis, tata cara, sopan santun, tutur bahasa yang indah hingga menyejukkan telinga siapa saja yang mendengar penuturan itu.
Atas dasar itu, agaknya, ungkapan etis Ndasmu itu jadi mengusik pendengaran orang banyak untuk memberikan penilaian dari perspektifnya masing-masing. Kendati semuanya tetap bermuara pada kesan yang negatif dan sengak. Seperti memperkosa telinga setiap orang yang mendengarnya.
Begitulah pemahaman warga masyarakat awam terhadap etis politik dan politik etis. Sejauh asam di gunung dengan ikan di laut.
Bojonegoro : 22 Desember 2023