Lensa Pewarta News
Oleh : Gok Ras
Demokrasi itu seperti sosok seorang demonstran yang melakukan protes tentang ketidakadilan, kesemena-menaan dan kelancangan dalam mengangkangi hukum dan perundang-undangan yang telah menjadi kesepakatan untuk dihargai dan ditaati bersama, seperti etika, moral dan akhlak sebagai penjaga sikap dan watak culas agar tidak ugal-ugalan bersikap dan bertindak tanpa mengindahkan hak orang lain.
Pembunuhan terhadap demokrasi, memang tidak sampai mematikan, tetapi telah membuat cedera dan kerusakan yang terkait dengan banyak hal segi dan sendi kehidupan orang banyak akibat birahi dan egoisme yang diumbar untuk kesenangan, demi kepuasan serta agar kemenangan dapat dicapai hanya untuk kepentingan diri sendiri, atau kelompok serta geng dari kroni yang dibangun untuk merampas hak-hak dan kesempatan orang lain dengan segala cara yang dihalalkan. Padahal, semua perolehan yang dilakukan dengan segala cara itu adalah haram (hal yang tidak boleh dan tidak patut dilakukan) karena bertentang dengan prinsip umum yang telah menjadi konvensi, kesepakatan yang tidak tertulis, tetapi telah menjadi norma kesepakatan umum yang wajib dihormati dan disepakati, tanpa kecuali. Maka itu, gonjang-ganjing saat Pemilu 2024 — khususnya untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia tahun 2024 telah tercatat dalam sejarah demokrasi yang kelam di Indonesia dengan berbagai trik serta tipu daya yang sangat amat tercela dan menjadi sorotan dunia atas prilaku buruk kepada budaya demokrasi di Indonesia.
Upaya membunuh demokrasi di Indonesia tidak sepenuhnya untuk mematikan demokrasi itu, karena yang terpenting bagi penjahat demokrasi ini adalah bagaimana maksud dan tujuan utamanya untuk terus menggenggam kekuasaan, seperti yang telah dipertontonkan pada Pemilu 2024 di Indonesia. Bagaimana perilaku cawe-cawe tiada rasa malu dilakukan secara fulgar serta terbuka seperti mengumbar paket sembako entah dari mana sumber dan cara memperoleh dana tersebut.
Budaya pembunuhan demokrasi itu terus berlanjut dengan cara yang halus dan kasar. Istilah “menyantet” demokrasi sendiri sampai kepada pejuang demokrasi dilakukan dengan cara merangkul, mengambil alih atau mengkudeta sampai melancarkan intimidasi serta ancaman hendak di KPK-kan. Sedangkan bagi pejuang demokrasi yang setengah matang, cukup dijinakkan dengan berbagai imingi-iming yang menggiurkan untuk dipilih dan dinikmati dalam kondisi yang menindas rakyat.
Itulah sebabnya kaum oposisi terkesan jadi pasang-surut seperti Kali Ciliwung yang keruh dan membelah kota Jakarta. Istilah kolaborasi dan koalisi menjadi siluet dari persekongkolan jahat untuk melumpuhkan perlawanan budaya rakyat.
Inilah potret buram dari wajah demokrasi kita di Indonesia yang masih terus bertepuk dana sebagai warga bangsa demokratis dalam jejeran negara yang menyunggi demokrasi di atas kepala dengan penuh kebungahan semu yang tengah menjadi bahan tertawaan warga masyarakat di dunia.